Selasa, 08 Mei 2012

makalah fiqh Munakahat (kafa'ah)


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT  yang senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua, khususnya kami sehingga kami mampu menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dan cahaya petunjuk bagi umat Islam sedunia. Semoga syafaatnya mengiringi kita di hari akhir. Amin.
Makalah ini, kami susun sebagai bukti pertanggung jawaban kami kepada Bapak Dosen mata kuliah yang bersangkutan atas tugas yang diberikan kepada kami. Makalah ini juga kami persembahkan kepada Beliau untuk dapat dijadikan sebagai salah satu acuan pembelajaran selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terkait dengan penyususna makalah ini. “Tiada Gading yang Tak Retak” sehingga kritik dan perbaikan serta penilaian terhadap makalah ini sangat kami butuhkan. Mohon maaf apabila ditemukan beberapa kesalahan yang bersifat teknik maupun dalam bentuk penulisan  dan ejaan. Semoga bermanfaat.

Jakarta, 27Desember  2011

Pemakalah


BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang
Keluarga adalah fitrah manusia di alam fana ini, bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia tidak bisa hidup sendirian. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain sebagai pasangan hidup, sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi perasaan suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran.
            Untuk memenuhi itu semua, setiap manusia  perlu membentuk sesuatu yang menurut pengertian umum disebut keluarga. Untuk membentuk satu keluarga, setiap manusia apakah dia seorang pria atau wanita perlu bergaul (berkomunikasi) dengan lawan jenisnya dalam rangka menuju sesuatu yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, yaitu melangsungkan pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah Saw yang dalam sabdanya dikatakan :
            “Pernikahan adalah salah satu sunnahku, maka barangsiapa menyukai fitrahku     hendaknya ia mengikuti sunnahku.” (HR. Abu Ya’la dari Ibn Abbas, dengan sanad hasan)
            Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?
Pada BAB II  kami akan membahas tentang kafa’ah atau keserasian dan kesamaan. Walaupun ada ulama \yang menentang kafa’ah, sebagaimana Ibnu Hazm, mayoritas ulama, apalagi ulama yang menganut empat mazhab, syafi’iyah, malikiyah, hanafi’yah, dan hanabilah, sepakat dengan adanya kafa’ah walaupun dengan sudut pandang yang berbeda.
Harapan kami, pembahasan tentang peminangan dan kafa’ah ini semoga menjadi titik awal dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata kuliah fiqh munakahat ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu sunnah Rasulullah ini, yaitu pernikahan.
2.       Rumusan Masalah
Untuk menyusun makalah ini, kami menyusun terlebih dahulu rumusan masalah agar penyusunan makalah in dapat dengan mudah kami lakukan dan para pembaca dapat dengan mudah memahami masalah yang kami bahas, yaitu:
a.       Pengertian kafa’ah
b.      Hal-hal yang menjadi ukuran Kafa’ah
c.       Kapan kafa’ah itu diperlukan
d.      Pendapat para ulama mengenai syaratnya kafa’ah  sebagai syarat nikah.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      ­Pengertian Kafa’ah[1]
Kafa’ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi-a. Artinya adalah sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-qur’an adalah dalam surat al-ikhlash ayat 4: walam yakun lahu kufuan ahad, yang berarti tidak suatupun yang sama dengan-Nya.[2]
Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya[3].
Arti kafa'ah (kesederajatan) bagi orang-orang yang menganggapnya syarat dalam pernikahan, adalah hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa hal
Dengan demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah..[4]

2.      Hal-hal Yang Menjadi Ukuran Kafa’ah
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan ukuran yang digunakan dalam kafa’ah.[5]
Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar ukuran  kafa’ah adalah:
a.       Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
    1. Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.
    2. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.
    3. Kemerdekaan dirinya.
    4. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.
    5. Kekayaan.
Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar ukuran kafa’ah adalah:
a. Diyanah
b. Terbebas dari cacat fisik.
Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar  ukuran kafa’ah adalah:
a. Nasab
b. Diyanah
c. Kemerdekaan dirinya.
d. Hirfah.
Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar ukuran kafa’ah adalah:
a. Diyanah
b. Hirfah
c. Kekayaan
d. Kemerdekaan diri
e. Nasab
Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai ukuran  kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada surat as-Sajadah (32):18, “Afaman kana mu’minan kaman kana faasiqon la yastawuun” dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.
3.      Kapan Kafa’ah itu diperlukan
Perkawinan adalah langkah awal pembentukan sebuah keluarga yang membutuhkan pasangan yang serasi dan memiliki keterpaduan dalam merangkai hubungan diantara mereka serta segenap keluarga mereka. Sehingga jika keduanya berasal dari kelas atau golongan yang setara, dikawatirkan akan terjadi kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang harmonis yang pada akhirnya berujung pada bubarnya perkawinan.
Kalangan yang menganggap pentingnya kafa’ah mendasarkan pendapatnya pada ;
1.      Hadits Nabi dari Ali RA yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan al-Hakim;
“Tiga hal yang jangan ditunda [1]shalat jika telah masuk waktunya,[2]jenazah jika sudah tiba, dan [3] gadis yang sudah mendapatkan jodoh yang sepadan”.
2.       Hadits Nabi dari Jabir yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan Baihaqi:
“Jangan nikahkan wanita kecuali dengan orang- orang yang sekufu, jangan menikahkan mereka kecuali wali mereka, dan tiada maskawin di bawah 10 dirham”.
3.      Hadits Nabi dari Aisyah dan Umar yang diriwayatkan oleh al-Hakim:
“Aku akan mencegah perkawinan orang- orang yang memiliki nasab kecuali dengan pasangan yang sepadan”
4.      Serta masih banyak hadits-hadits lain yang mengharuskan adanya kafa’ah sehingga pensyaratan kafa’ah dalam pernikahan ini menjadi pendapat jumhur termasuk madzhab empat.
5.      Sedang yang tidak mensyaratkannya antara lain ats-Tsauri, Hasan Bashri, dan al-Karkhi (Hanafiyah), adapun dasarnya adalah sabda Nabi “Manusia itu sama seperti jajaran gigi, tidak ada keutamaan bagi orang arab maupun ajam [selain arab]. Sesungguhnya keutamaan itu terletak pada ketakwaannya”. Serta fakta sejarah yang mencerminkan kesetaraan sesama muslim yang diajarkan oleh Nabi. Salah satunya adalah menikahnya seorang mantan budak [Bilal bin Rabah] dengan seorang perempuan merdeka dari kaum anshar.
4.      Pendapat para Ulama Mengenai  Syarat Kafa’ah
Para ulama berbeda pendapat dalam memosisikan kafâ’ah sebagai syarat dalam pernikahan, yang secara umum dibagi ke dalam dua pendapat. Yang pertama menyatakan bahwa kafâ’ah sama sekali bukan syarat pernikahan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat wajib.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Sufyân al-Tsawrî, Hasan al-Bashrî, dan al-Karakhî. Dalil mereka antara lain adalah hadis Nabi yang menyatakan bahwa “…manusia itu seperti gigi sisir; seseorang tidak memiliki kelebihan atas orang yang lain, kecuali dalam hal ketakwaannya” (Subulussalâm, 3: 129). Hadis ini dipandang menyuarakan egalitarianisme Islam secara mutlak sehingga kafâ’ah tidak diperlukan dalam kasus pernikahan. Kelompok ini juga berargumen dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah dari sisi ketakwaannya (Q.S. al-Hujurât [49]: 13).
Terhadap dalil ini, kelompok kedua, yang mensyaratkan kafâ’ah dalam pernikahan, menyatakan bahwa teks-teks tersebut pada dasarnya menyatakan persamaan hak dan kewajiban manusia. Tetapi dalam konteks pergaulan kemasyarakatan sehari-hari, teks juga mengakui adanya kelebihan sesosok pribadi seseorang dibandingkan dengan yang lainnya, baik dalam hal kekayaan maupun kualitas keilmuan (lihat, Q.S. al-Nahl [16]: 71, dan Q.S. al-Mujâdalah [58]: 11). Ini berarti bahwa teks juga mengakui realitas sosial yang memperlihatkan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat sebagai suatu hal yang manusiawi.
Kelompok yang kedua terdiri dari empat mazhab yang terkemuka dalam fikih, yaitu Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan Maliki, yang merupakan pendapat kelompok mayoritas. Mereka menyodorkan beberapa hadis Nabi, yang di antaranya menyatakan bahwa perempuan itu harus dinikahkan dengan orang yang kufu’. Selain hadis yang begitu banyak dikutip sebagai landasannya, kelompok kedua ini berargumen dengan pendekatan rasional. Menurut mereka, kemaslahatan suami-istri tidak akan dicapai bila tidak ada keserasian (kafâ’ah). Perspektif kafâ’ah ini terutama dilihat dari sisi si perempuan. Artinya, jika di suami tidak kufu’ dengan si istri, maka ikatan pernikahan dapat bermasalah. Demikian juga, orang tua si perempuan (istri) akan menjadi rendah derajatnya secara sosial jika menantunya tidak kufu’, sehingga tujuan sosial pernikahan untuk mengukuhkan integritas sosial menjadi gagal.

Mayoritas ulama dari keempat mazhab fiqih sepakat bahwa kafâ’ah merupakan syarat wajib dan bukan syarat sah, sehingga jika seorang perempuan menikah dengan tidak kufu’, maka akad nikahnya itu sah, tetapi walinya memiliki hak untuk menentang dan menuntut pembatalan akad tersebut (faskh).

Kafâ’ah itu sendiri menurut mayoritas ulama merupakan suatu tuntutan dari sisi laki-laki untuk si perempuan, suatu hak yang bertujuan demi menjaga kebaikan si perempuan, sehingga disyaratkan si calon suami serasi (kufu’) dengan si calon istri. Sebaliknya, si perempuan tidak disyaratkan kufu’ terhadap si laki-laki, sehingga ketentuan fikih mengizinkan jika si perempuan secara kualitatif berada jauh di bawah si laki-laki, dengan alasan bahwa si laki-laki tidak akan menjadi tercoreng namanya dengan menikahi perempuan yang tidak kufu’ itu. Memang dalam beberapa kasus kafâ’ah juga harus dipertimbangkan untuk kepentingan si laki-laki, seperti dalam kasus pernikahan yang oleh pihak laki-laki diwakilkan kepada orang lain.

Kemudian, siapa yang memiliki hak dalam soal kafâ’ah ini? Para ulama sepakat bahwa baik si perempuan maupun walinya sama-sama memegang hak kafâ’ah ini. Karena itu, jika seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’, maka walinya berhak menuntut pembatalan (faskh) akad nikah tersebut. Demikian juga, jika seorang wali menikahkan anak perempuannya dengan tidak kufu’, maka si perempuan berhak untuk menuntut pembatalan (faskh).[6]
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum”. Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan. Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah , meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.[7]

  BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Membicarakan  masalah kafa’ah  tidak mudah, tiap madzhab mepunyai pendapat dan alasannya sendiri, kafa’ah atau kufu secara harfiah dapat berarti seimbang, persamaan, setara, sederajat, sebanding dan seterusnya.
Dalam pengertian fiqh istilah ini biasanya dalam arti sempit tekananya pada soal keturunan, tetapi dapat juga dalam pengartian yang lebih luas: status sosialnya, ekonomi (kaya dan miskin), agama, ras, suku dan sebagainya. 
 
                                                DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 2007, Jakarta:Kencana.
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, 2002, Jakarta:Pustaka Amani.
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, 2003, Litera AntarNusa:Jakarta


[1] Makalah ini dipresentasikan oleh Saipul Ulum, Eka Purwanti, Halimatus Sa’adah dan Halimatus Sa’diah
[2] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, 2003, Litera AntarNusa:Jakarta, hal: 58
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007. Hal 141
[4] Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002. Hal 15
[5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal.142.
[6] http://rindupulang.blogspot.com/2004/04/membincang-kafah.html
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar