KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua, khususnya kami sehingga
kami mampu menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam
selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dan
cahaya petunjuk bagi umat Islam sedunia. Semoga syafaatnya mengiringi kita di
hari akhir. Amin.
Makalah
ini, kami susun sebagai bukti pertanggung jawaban kami kepada Bapak Dosen mata
kuliah yang bersangkutan atas tugas yang diberikan kepada kami. Makalah ini
juga kami persembahkan kepada Beliau untuk dapat dijadikan sebagai salah satu
acuan pembelajaran selanjutnya.
Terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terkait dengan penyususna
makalah ini. “Tiada Gading yang Tak Retak” sehingga kritik dan perbaikan serta
penilaian terhadap makalah ini sangat kami butuhkan. Mohon maaf apabila
ditemukan beberapa kesalahan yang bersifat teknik maupun dalam bentuk penulisan dan ejaan. Semoga bermanfaat.
Jakarta,
27Desember 2011
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Keluarga adalah fitrah manusia di
alam fana ini, bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia tidak bisa hidup
sendirian. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain sebagai pasangan
hidup, sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi perasaan
suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran.
Untuk memenuhi itu semua, setiap manusia perlu membentuk sesuatu yang
menurut pengertian umum disebut keluarga. Untuk membentuk satu keluarga, setiap
manusia apakah dia seorang pria atau wanita perlu bergaul (berkomunikasi)
dengan lawan jenisnya dalam rangka menuju sesuatu yang sudah dicontohkan oleh
Rasulullah Saw, yaitu melangsungkan pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu
sunnah Rasulullah Saw yang dalam sabdanya dikatakan :
“Pernikahan adalah salah satu sunnahku, maka barangsiapa menyukai
fitrahku hendaknya ia mengikuti sunnahku.” (HR. Abu
Ya’la dari Ibn Abbas, dengan sanad hasan)
Menikah adalah salah satu sunnah
Rasulullah. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh manusia.
Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang
perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah bila
merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum
menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?
Pada BAB II kami akan membahas tentang kafa’ah atau
keserasian dan kesamaan. Walaupun ada ulama \yang menentang kafa’ah,
sebagaimana Ibnu Hazm, mayoritas ulama, apalagi ulama yang menganut empat
mazhab, syafi’iyah, malikiyah, hanafi’yah, dan hanabilah, sepakat dengan adanya
kafa’ah walaupun dengan sudut pandang yang berbeda.
Harapan kami, pembahasan tentang
peminangan dan kafa’ah ini semoga menjadi titik awal dari pembahasan-pembahasan
selanjutnya dalam mata kuliah fiqh munakahat ini dan menjadi pelajaran
bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu sunnah Rasulullah ini,
yaitu pernikahan.
2.
Rumusan Masalah
Untuk menyusun makalah ini, kami
menyusun terlebih dahulu rumusan masalah agar penyusunan makalah in dapat
dengan mudah kami lakukan dan para pembaca dapat dengan mudah memahami masalah
yang kami bahas, yaitu:
a. Pengertian
kafa’ah
b. Hal-hal
yang menjadi ukuran Kafa’ah
c. Kapan
kafa’ah itu diperlukan
d. Pendapat
para ulama mengenai syaratnya kafa’ah
sebagai syarat nikah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Kafa’ah[1]
Kafa’ah
berasal dari bahasa arab, dari kata kafi-a. Artinya adalah sama atau
setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan terdapat
dalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-qur’an adalah
dalam surat al-ikhlash ayat 4: walam yakun lahu kufuan ahad, yang
berarti tidak suatupun yang sama dengan-Nya.[2]
Kata kufu
atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus
sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat
yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan
harus ada pada laki-laki yang mengawininya[3].
Arti kafa'ah (kesederajatan) bagi orang-orang yang
menganggapnya syarat dalam pernikahan, adalah hendaknya seorang laki-laki
(calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita yang akan menjadi istrinya
dalam beberapa hal
Dengan
demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan
antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan
isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan
suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar
dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh
tentang kafa’ah..[4]
2.
Hal-hal Yang Menjadi Ukuran Kafa’ah
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan
ukuran yang digunakan dalam kafa’ah.[5]
Menurut ulama Hanafiyah, yang
menjadi dasar ukuran kafa’ah adalah:
a.
Nasab, yaitu keturunan atau
kebangsaan.
- Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.
- Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.
- Kemerdekaan dirinya.
- Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.
- Kekayaan.
Menurut ulama malikiyah, yang
menjadi dasar ukuran kafa’ah adalah:
a. Diyanah
b. Terbebas dari cacat fisik.
Menurut ulama Syafi’iyah, yang
menjadi dasar ukuran kafa’ah adalah:
a. Nasab
b. Diyanah
c. Kemerdekaan dirinya.
d. Hirfah.
Menurut ulama Hanabilah yang menjadi
dasar ukuran kafa’ah adalah:
a. Diyanah
b. Hirfah
c. Kekayaan
d. Kemerdekaan diri
e. Nasab
Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan
dien atau diyanah sebagai ukuran kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada
surat as-Sajadah (32):18, “Afaman kana mu’minan kaman kana faasiqon la
yastawuun” dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang
hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.
3. Kapan Kafa’ah itu diperlukan
Perkawinan
adalah langkah awal pembentukan sebuah keluarga yang membutuhkan pasangan yang
serasi dan memiliki keterpaduan dalam merangkai hubungan diantara mereka serta
segenap keluarga mereka. Sehingga jika keduanya berasal dari kelas atau golongan
yang setara, dikawatirkan akan terjadi kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang
harmonis yang pada akhirnya berujung pada bubarnya perkawinan.
Kalangan yang menganggap
pentingnya kafa’ah mendasarkan pendapatnya pada ;
1. Hadits Nabi dari Ali RA yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan
al-Hakim;
“Tiga hal yang jangan
ditunda [1]shalat jika telah masuk waktunya,[2]jenazah jika sudah tiba, dan [3]
gadis yang sudah mendapatkan jodoh yang sepadan”.
2. Hadits Nabi dari Jabir
yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan Baihaqi:
“Jangan nikahkan wanita
kecuali dengan orang- orang yang sekufu, jangan menikahkan mereka kecuali wali
mereka, dan tiada maskawin di bawah 10 dirham”.
3. Hadits Nabi dari Aisyah dan Umar yang diriwayatkan oleh
al-Hakim:
“Aku akan mencegah
perkawinan orang- orang yang memiliki nasab kecuali dengan pasangan yang
sepadan”
4. Serta masih banyak hadits-hadits lain yang mengharuskan adanya
kafa’ah sehingga pensyaratan kafa’ah dalam pernikahan ini menjadi pendapat
jumhur termasuk madzhab empat.
5. Sedang yang tidak mensyaratkannya antara lain ats-Tsauri, Hasan
Bashri, dan al-Karkhi (Hanafiyah), adapun dasarnya adalah sabda Nabi “Manusia
itu sama seperti jajaran gigi, tidak ada keutamaan bagi orang arab maupun ajam
[selain arab]. Sesungguhnya keutamaan itu terletak pada ketakwaannya”. Serta
fakta sejarah yang mencerminkan kesetaraan sesama muslim yang diajarkan oleh
Nabi. Salah satunya adalah menikahnya seorang mantan budak [Bilal bin Rabah]
dengan seorang perempuan merdeka dari kaum anshar.
4. Pendapat para Ulama Mengenai Syarat Kafa’ah
Para ulama berbeda pendapat dalam memosisikan kafâ’ah
sebagai syarat dalam pernikahan, yang secara umum dibagi ke dalam dua pendapat.
Yang pertama menyatakan bahwa kafâ’ah sama sekali bukan syarat
pernikahan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat wajib.
Termasuk dalam kelompok
ini adalah Sufyân al-Tsawrî, Hasan al-Bashrî, dan al-Karakhî. Dalil mereka
antara lain adalah hadis Nabi yang menyatakan bahwa “…manusia itu seperti gigi
sisir; seseorang tidak memiliki kelebihan atas orang yang lain, kecuali dalam
hal ketakwaannya” (Subulussalâm, 3: 129). Hadis ini dipandang
menyuarakan egalitarianisme Islam secara mutlak sehingga kafâ’ah tidak
diperlukan dalam kasus pernikahan. Kelompok ini juga berargumen dengan ayat
al-Qur’an yang menyatakan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah dari
sisi ketakwaannya (Q.S. al-Hujurât [49]: 13).
Terhadap dalil ini,
kelompok kedua, yang mensyaratkan kafâ’ah
dalam pernikahan, menyatakan bahwa teks-teks tersebut pada dasarnya menyatakan
persamaan hak dan kewajiban manusia. Tetapi dalam konteks pergaulan
kemasyarakatan sehari-hari, teks juga mengakui adanya kelebihan sesosok pribadi
seseorang dibandingkan dengan yang lainnya, baik dalam hal kekayaan maupun
kualitas keilmuan (lihat, Q.S. al-Nahl [16]: 71, dan Q.S. al-Mujâdalah [58]:
11). Ini berarti bahwa teks juga mengakui realitas sosial yang memperlihatkan
adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat sebagai suatu hal yang manusiawi.
Kelompok yang kedua
terdiri dari empat mazhab yang terkemuka dalam fikih, yaitu Hanafi, Syafi’i,
Hanbali, dan Maliki, yang merupakan pendapat kelompok mayoritas. Mereka
menyodorkan beberapa hadis Nabi, yang di antaranya menyatakan bahwa perempuan
itu harus dinikahkan dengan orang yang kufu’. Selain hadis yang begitu banyak
dikutip sebagai landasannya, kelompok kedua ini berargumen dengan pendekatan
rasional. Menurut mereka, kemaslahatan suami-istri tidak akan dicapai bila
tidak ada keserasian (kafâ’ah).
Perspektif kafâ’ah
ini terutama dilihat dari sisi si perempuan. Artinya, jika di suami tidak kufu’
dengan si istri, maka ikatan pernikahan dapat bermasalah. Demikian juga, orang
tua si perempuan (istri) akan menjadi rendah derajatnya secara sosial jika
menantunya tidak kufu’, sehingga tujuan sosial pernikahan untuk mengukuhkan
integritas sosial menjadi gagal.
Mayoritas ulama dari
keempat mazhab fiqih sepakat bahwa kafâ’ah
merupakan syarat wajib dan bukan syarat sah, sehingga jika seorang perempuan
menikah dengan tidak kufu’, maka akad
nikahnya itu sah, tetapi walinya memiliki hak untuk menentang dan menuntut
pembatalan akad tersebut (faskh).
Kafâ’ah itu sendiri menurut mayoritas ulama merupakan suatu tuntutan dari sisi laki-laki untuk si perempuan, suatu hak yang bertujuan demi menjaga kebaikan si perempuan, sehingga disyaratkan si calon suami serasi (kufu’) dengan si calon istri. Sebaliknya, si perempuan tidak disyaratkan kufu’ terhadap si laki-laki, sehingga ketentuan fikih mengizinkan jika si perempuan secara kualitatif berada jauh di bawah si laki-laki, dengan alasan bahwa si laki-laki tidak akan menjadi tercoreng namanya dengan menikahi perempuan yang tidak kufu’ itu. Memang dalam beberapa kasus kafâ’ah juga harus dipertimbangkan untuk kepentingan si laki-laki, seperti dalam kasus pernikahan yang oleh pihak laki-laki diwakilkan kepada orang lain.
Kemudian, siapa yang memiliki hak dalam soal kafâ’ah ini? Para ulama sepakat bahwa baik si perempuan maupun walinya sama-sama memegang hak kafâ’ah ini. Karena itu, jika seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’, maka walinya berhak menuntut pembatalan (faskh) akad nikah tersebut. Demikian juga, jika seorang wali menikahkan anak perempuannya dengan tidak kufu’, maka si perempuan berhak untuk menuntut pembatalan (faskh).[6]
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu
riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk
syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan
tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang
hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka
merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum”. Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah.
Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah
dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan,
bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh
kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan
pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang
lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah.
Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun
laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan,
apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan. Begitu pula
halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya
kafa’ah , meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan,
bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.[7]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Membicarakan masalah kafa’ah tidak mudah, tiap madzhab mepunyai pendapat
dan alasannya sendiri, kafa’ah atau kufu secara harfiah dapat berarti seimbang,
persamaan, setara, sederajat, sebanding dan seterusnya.
Dalam
pengertian fiqh istilah ini biasanya dalam arti sempit tekananya pada soal
keturunan, tetapi dapat juga dalam pengartian yang lebih luas: status
sosialnya, ekonomi (kaya dan miskin), agama, ras, suku dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin
Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 2007, Jakarta:Kencana.
Al-Hamdani,
Risalah an-Nikah, 2002, Jakarta:Pustaka
Amani.
Ali
Audah, Ali bin Abi Thalib, 2003,
Litera AntarNusa:Jakarta
[1] Makalah
ini dipresentasikan oleh Saipul Ulum, Eka Purwanti, Halimatus Sa’adah dan
Halimatus Sa’diah
[2] Ali
Audah, Ali bin Abi Thalib, 2003,
Litera AntarNusa:Jakarta, hal: 58
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana:
Jakarta. 2007. Hal 141
[4] Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta.
2002. Hal 15
[5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal.142.
[6] http://rindupulang.blogspot.com/2004/04/membincang-kafah.html
[7] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar