Selasa, 08 Mei 2012

makalah fiqh Munakahat (kafa'ah)


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT  yang senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua, khususnya kami sehingga kami mampu menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dan cahaya petunjuk bagi umat Islam sedunia. Semoga syafaatnya mengiringi kita di hari akhir. Amin.
Makalah ini, kami susun sebagai bukti pertanggung jawaban kami kepada Bapak Dosen mata kuliah yang bersangkutan atas tugas yang diberikan kepada kami. Makalah ini juga kami persembahkan kepada Beliau untuk dapat dijadikan sebagai salah satu acuan pembelajaran selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terkait dengan penyususna makalah ini. “Tiada Gading yang Tak Retak” sehingga kritik dan perbaikan serta penilaian terhadap makalah ini sangat kami butuhkan. Mohon maaf apabila ditemukan beberapa kesalahan yang bersifat teknik maupun dalam bentuk penulisan  dan ejaan. Semoga bermanfaat.

Jakarta, 27Desember  2011

Pemakalah


BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang
Keluarga adalah fitrah manusia di alam fana ini, bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia tidak bisa hidup sendirian. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain sebagai pasangan hidup, sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi perasaan suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran.
            Untuk memenuhi itu semua, setiap manusia  perlu membentuk sesuatu yang menurut pengertian umum disebut keluarga. Untuk membentuk satu keluarga, setiap manusia apakah dia seorang pria atau wanita perlu bergaul (berkomunikasi) dengan lawan jenisnya dalam rangka menuju sesuatu yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, yaitu melangsungkan pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah Saw yang dalam sabdanya dikatakan :
            “Pernikahan adalah salah satu sunnahku, maka barangsiapa menyukai fitrahku     hendaknya ia mengikuti sunnahku.” (HR. Abu Ya’la dari Ibn Abbas, dengan sanad hasan)
            Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?
Pada BAB II  kami akan membahas tentang kafa’ah atau keserasian dan kesamaan. Walaupun ada ulama \yang menentang kafa’ah, sebagaimana Ibnu Hazm, mayoritas ulama, apalagi ulama yang menganut empat mazhab, syafi’iyah, malikiyah, hanafi’yah, dan hanabilah, sepakat dengan adanya kafa’ah walaupun dengan sudut pandang yang berbeda.
Harapan kami, pembahasan tentang peminangan dan kafa’ah ini semoga menjadi titik awal dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata kuliah fiqh munakahat ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu sunnah Rasulullah ini, yaitu pernikahan.
2.       Rumusan Masalah
Untuk menyusun makalah ini, kami menyusun terlebih dahulu rumusan masalah agar penyusunan makalah in dapat dengan mudah kami lakukan dan para pembaca dapat dengan mudah memahami masalah yang kami bahas, yaitu:
a.       Pengertian kafa’ah
b.      Hal-hal yang menjadi ukuran Kafa’ah
c.       Kapan kafa’ah itu diperlukan
d.      Pendapat para ulama mengenai syaratnya kafa’ah  sebagai syarat nikah.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      ­Pengertian Kafa’ah[1]
Kafa’ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi-a. Artinya adalah sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-qur’an adalah dalam surat al-ikhlash ayat 4: walam yakun lahu kufuan ahad, yang berarti tidak suatupun yang sama dengan-Nya.[2]
Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya[3].
Arti kafa'ah (kesederajatan) bagi orang-orang yang menganggapnya syarat dalam pernikahan, adalah hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa hal
Dengan demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah..[4]

2.      Hal-hal Yang Menjadi Ukuran Kafa’ah
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan ukuran yang digunakan dalam kafa’ah.[5]
Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar ukuran  kafa’ah adalah:
a.       Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
    1. Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.
    2. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.
    3. Kemerdekaan dirinya.
    4. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.
    5. Kekayaan.
Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar ukuran kafa’ah adalah:
a. Diyanah
b. Terbebas dari cacat fisik.
Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar  ukuran kafa’ah adalah:
a. Nasab
b. Diyanah
c. Kemerdekaan dirinya.
d. Hirfah.
Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar ukuran kafa’ah adalah:
a. Diyanah
b. Hirfah
c. Kekayaan
d. Kemerdekaan diri
e. Nasab
Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai ukuran  kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada surat as-Sajadah (32):18, “Afaman kana mu’minan kaman kana faasiqon la yastawuun” dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.
3.      Kapan Kafa’ah itu diperlukan
Perkawinan adalah langkah awal pembentukan sebuah keluarga yang membutuhkan pasangan yang serasi dan memiliki keterpaduan dalam merangkai hubungan diantara mereka serta segenap keluarga mereka. Sehingga jika keduanya berasal dari kelas atau golongan yang setara, dikawatirkan akan terjadi kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang harmonis yang pada akhirnya berujung pada bubarnya perkawinan.
Kalangan yang menganggap pentingnya kafa’ah mendasarkan pendapatnya pada ;
1.      Hadits Nabi dari Ali RA yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan al-Hakim;
“Tiga hal yang jangan ditunda [1]shalat jika telah masuk waktunya,[2]jenazah jika sudah tiba, dan [3] gadis yang sudah mendapatkan jodoh yang sepadan”.
2.       Hadits Nabi dari Jabir yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan Baihaqi:
“Jangan nikahkan wanita kecuali dengan orang- orang yang sekufu, jangan menikahkan mereka kecuali wali mereka, dan tiada maskawin di bawah 10 dirham”.
3.      Hadits Nabi dari Aisyah dan Umar yang diriwayatkan oleh al-Hakim:
“Aku akan mencegah perkawinan orang- orang yang memiliki nasab kecuali dengan pasangan yang sepadan”
4.      Serta masih banyak hadits-hadits lain yang mengharuskan adanya kafa’ah sehingga pensyaratan kafa’ah dalam pernikahan ini menjadi pendapat jumhur termasuk madzhab empat.
5.      Sedang yang tidak mensyaratkannya antara lain ats-Tsauri, Hasan Bashri, dan al-Karkhi (Hanafiyah), adapun dasarnya adalah sabda Nabi “Manusia itu sama seperti jajaran gigi, tidak ada keutamaan bagi orang arab maupun ajam [selain arab]. Sesungguhnya keutamaan itu terletak pada ketakwaannya”. Serta fakta sejarah yang mencerminkan kesetaraan sesama muslim yang diajarkan oleh Nabi. Salah satunya adalah menikahnya seorang mantan budak [Bilal bin Rabah] dengan seorang perempuan merdeka dari kaum anshar.
4.      Pendapat para Ulama Mengenai  Syarat Kafa’ah
Para ulama berbeda pendapat dalam memosisikan kafâ’ah sebagai syarat dalam pernikahan, yang secara umum dibagi ke dalam dua pendapat. Yang pertama menyatakan bahwa kafâ’ah sama sekali bukan syarat pernikahan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat wajib.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Sufyân al-Tsawrî, Hasan al-Bashrî, dan al-Karakhî. Dalil mereka antara lain adalah hadis Nabi yang menyatakan bahwa “…manusia itu seperti gigi sisir; seseorang tidak memiliki kelebihan atas orang yang lain, kecuali dalam hal ketakwaannya” (Subulussalâm, 3: 129). Hadis ini dipandang menyuarakan egalitarianisme Islam secara mutlak sehingga kafâ’ah tidak diperlukan dalam kasus pernikahan. Kelompok ini juga berargumen dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah dari sisi ketakwaannya (Q.S. al-Hujurât [49]: 13).
Terhadap dalil ini, kelompok kedua, yang mensyaratkan kafâ’ah dalam pernikahan, menyatakan bahwa teks-teks tersebut pada dasarnya menyatakan persamaan hak dan kewajiban manusia. Tetapi dalam konteks pergaulan kemasyarakatan sehari-hari, teks juga mengakui adanya kelebihan sesosok pribadi seseorang dibandingkan dengan yang lainnya, baik dalam hal kekayaan maupun kualitas keilmuan (lihat, Q.S. al-Nahl [16]: 71, dan Q.S. al-Mujâdalah [58]: 11). Ini berarti bahwa teks juga mengakui realitas sosial yang memperlihatkan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat sebagai suatu hal yang manusiawi.
Kelompok yang kedua terdiri dari empat mazhab yang terkemuka dalam fikih, yaitu Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan Maliki, yang merupakan pendapat kelompok mayoritas. Mereka menyodorkan beberapa hadis Nabi, yang di antaranya menyatakan bahwa perempuan itu harus dinikahkan dengan orang yang kufu’. Selain hadis yang begitu banyak dikutip sebagai landasannya, kelompok kedua ini berargumen dengan pendekatan rasional. Menurut mereka, kemaslahatan suami-istri tidak akan dicapai bila tidak ada keserasian (kafâ’ah). Perspektif kafâ’ah ini terutama dilihat dari sisi si perempuan. Artinya, jika di suami tidak kufu’ dengan si istri, maka ikatan pernikahan dapat bermasalah. Demikian juga, orang tua si perempuan (istri) akan menjadi rendah derajatnya secara sosial jika menantunya tidak kufu’, sehingga tujuan sosial pernikahan untuk mengukuhkan integritas sosial menjadi gagal.

Mayoritas ulama dari keempat mazhab fiqih sepakat bahwa kafâ’ah merupakan syarat wajib dan bukan syarat sah, sehingga jika seorang perempuan menikah dengan tidak kufu’, maka akad nikahnya itu sah, tetapi walinya memiliki hak untuk menentang dan menuntut pembatalan akad tersebut (faskh).

Kafâ’ah itu sendiri menurut mayoritas ulama merupakan suatu tuntutan dari sisi laki-laki untuk si perempuan, suatu hak yang bertujuan demi menjaga kebaikan si perempuan, sehingga disyaratkan si calon suami serasi (kufu’) dengan si calon istri. Sebaliknya, si perempuan tidak disyaratkan kufu’ terhadap si laki-laki, sehingga ketentuan fikih mengizinkan jika si perempuan secara kualitatif berada jauh di bawah si laki-laki, dengan alasan bahwa si laki-laki tidak akan menjadi tercoreng namanya dengan menikahi perempuan yang tidak kufu’ itu. Memang dalam beberapa kasus kafâ’ah juga harus dipertimbangkan untuk kepentingan si laki-laki, seperti dalam kasus pernikahan yang oleh pihak laki-laki diwakilkan kepada orang lain.

Kemudian, siapa yang memiliki hak dalam soal kafâ’ah ini? Para ulama sepakat bahwa baik si perempuan maupun walinya sama-sama memegang hak kafâ’ah ini. Karena itu, jika seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’, maka walinya berhak menuntut pembatalan (faskh) akad nikah tersebut. Demikian juga, jika seorang wali menikahkan anak perempuannya dengan tidak kufu’, maka si perempuan berhak untuk menuntut pembatalan (faskh).[6]
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum”. Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan. Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah , meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.[7]

  BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Membicarakan  masalah kafa’ah  tidak mudah, tiap madzhab mepunyai pendapat dan alasannya sendiri, kafa’ah atau kufu secara harfiah dapat berarti seimbang, persamaan, setara, sederajat, sebanding dan seterusnya.
Dalam pengertian fiqh istilah ini biasanya dalam arti sempit tekananya pada soal keturunan, tetapi dapat juga dalam pengartian yang lebih luas: status sosialnya, ekonomi (kaya dan miskin), agama, ras, suku dan sebagainya. 
 
                                                DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 2007, Jakarta:Kencana.
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, 2002, Jakarta:Pustaka Amani.
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, 2003, Litera AntarNusa:Jakarta


[1] Makalah ini dipresentasikan oleh Saipul Ulum, Eka Purwanti, Halimatus Sa’adah dan Halimatus Sa’diah
[2] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, 2003, Litera AntarNusa:Jakarta, hal: 58
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007. Hal 141
[4] Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002. Hal 15
[5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal.142.
[6] http://rindupulang.blogspot.com/2004/04/membincang-kafah.html
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 141.

makalah tafsir tarbawi


KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT  yang senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua, khususnya kami sehingga kami mampu menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dan cahaya petunjuk bagi umat Islam sedunia. Semoga syafaatnya mengiringi kita di hari akhir. Amin.
Makalah ini, kami susun sebagai bukti pertanggung jawaban kami kepada Bapak Dosen mata kuliah yang bersangkutan atas tugas yang diberikan kepada kami. Makalah ini juga kami persembahkan kepada Beliau untuk dapat dijadikan sebagai salah satu acuan pembelajaran selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terkait dengan penyususna makalah ini. “Tiada Gading yang Tak Retak” sehingga kritik dan perbaikan serta penilaian terhadap makalah ini sangat kami butuhkan. Mohon maaf apabila ditemukan beberapa kesalahan yang bersifat teknik maupun dalam bentuk penulisan  dan ejaan. Semoga bermanfaat.

                                                                                                Jakarta, 28 April 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Al-Qur’anul karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepadaRasulallah, Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Pengertian al-Qur’an secara lebih lengkap dan luas adalah seperti yang dikemukakan oleh Abd Wahab Khallaf. Menurut beliau:Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kekalbu Rasulallah SAW dengan menggunakan bahasa arab dan disertai dengankebenaran agar dijadikan hujjah (penguat) dalam pengakuannya sebagai Rasulallah dan agar dijadikan sebagai undang-undang bagi seluruh umatmanusia, di samping merupakan amal ibadah jika membacanya. Al-Qur’an itu dikompilasikan di antara dua ujung yang dimulai dari surat al-fatihah danditutup dengan surat an-nas yang sampai kepada kita secara tertib dalambentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh atau terpelihara dariperubahan dan pergantian.
Islam adalah agama samawi terakhir yang dirisalahkan melalui Rasulullah SAW. Karena Islam sebagai agama terakhir dan juga sebagai penyempurna ajaran-ajaran terdahulu, maka sangat bisa dipahami, jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.
 Secara garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pandangan al-Qur'an tentang masyarakat? Yang terfokuskan dalam tiga surah dalam al-qur’an,yaitu:
a.       Q. S. Al-Hujurat ayat 11-13
b.      Q. S. Ar-Ra’d ayat 11
c.       Q. S. An-Anfal ayat 53
2.      Bagaimana Implementasinya dalam Dunia penidikan?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Q. S. Hujurat ayat: 11-13
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُواْ خَيْراً مِّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُواْ أَنفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالاٌّلْقَـبِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الايمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّـلِمُونَ () يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ اجْتَنِبُواْ كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُواْ وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ  () يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَـكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَـرَفُواْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللَّهِ أَتْقَـكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Ø  Terjemahan:
11. Wahai orang-orang beriman! Janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokan) lebih baikdari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
12. Wahai orang-orang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebgaian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.
13. Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengentahui, Mahateliti.[1]

Ø  Tafsir Mufrodat
قَوْمٌ     QOUMU
Telah umum diartikan orang-orang laki-laki, bukan perempuan. Menurut M.Quraish Shihab seperti dikutib Abudin Nata kata kaum berasal dari kata qama – yaqumu – qiyam berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia bangkit untuk berperang membela sesuatu.

وَلاَتَلْمِزُواْ      WA LAA TALMIZUU
Janganlah kamu mencela dirimu sendiri, jangan sebagian kamu mencela sebagian yang lain dengan perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang mukmin adalah seperti satu jiwa.Maka apabila seorang mukmin mencela orang mukmin yang lainnya, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri.

وَلاَتَنَابَزُواْبِالاٌّلْقَـبِ     WALAA TANAABIZUU BIL AL QOOBI
Saling mengejek dan panggil memanggil dengan gelar yang tidak disukai orang lain.

الاسْمُ   AL ISMU
Nama dan kemasyhuran. Seperti orang mengatakan ”namanya terkenal di kalangan orang banyak baik karena kedermawanannya atau kejelekannya.

اجْتَنِبُواْ IJTANIBUU
Jauhilah oleh kalian, perintah ini mengandung makna bersungguh-sungguh untuk menjauhinya.

إِثْمٌ      ISMU
Dosa adalah ungkapan untuk semua pelanggaran terhadap perintah Allah SWTdengan berbuat jahat atau meninggalkan yang wajib.

تَجَسَّسُواْ        TAJASSASU
Memata-matai. Yaitu mencari-cari keburukan dan cacat-cacat serta membuka-buka hal yang ditutup orang.

يَغْتَب   YAGTAB
Menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia.

مِّنذَكَرٍوَأُنْثَى      MIN DZAKARUU WA UNTSAA
Dari seorang laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa)

شُعُوباً  ASYSYU’UUBU
Suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang.
Ø  Sabab Nuzul/Munsabah
Ayat 11
Abu Jubair Ibnu Dhahak meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai dua atau tiga nama. Dia dipanggil dengan atau tiga nama. Dia di panggil dengan nama tertentu, agar orang itu tidak senang dengan panggilan itu. (HR. Tirmidzi).
Ayat 12
Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Salman al-Farisi. Setelah selesai makan, dia terbiasa segera tidur dan mendengkur. Hal ini menjadi pergunjingan orang. (HR. Ibnu Mundzir)
Ayat 13
Ibnu Abi Mulaikah meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mengecam Bilal ketika ia naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan setelah pembebasan kota Mekah, “Bagaimana mungkin mungkin budak hitam ini yang mengumandangkan adzan di atas Ka’bah?” sebagian yang lain berkata, “Apakah Allah akan murka jika bukan ia yang mengumandangkan adzan?” (HR. Ibnu Abi Hatim).[2]
Ø  Syarah Ayat/Hadits Terkait
Orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan kekhilafan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana dalam sabda Nabi:


Dalam penggalan ayat ini Allah melarang kita mencela orang lain karena mencela orang lain sama saja mencela diri sendiri, karena orang-orang mukmin itu bagaikan satu badan. firman Allah SWT yang menerangkan tentang balasan bagi orang yang suka mencela orang lain yaitu:
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ       
Neraka wailun hanya buat orang yang suka mencedera orang dan mencela orang”. (al-Humazah: 1)

Ø  Pokok Kandungan Ayat dan Keterkaitan dengan pendidikan
Sebagai makhluk sosial, manusia mau atau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lain, dan membutuhkan lingkungan di mana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan atau tertib, disiplin, menghargai hak-hak azasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang demikian itulah memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktifitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya.
Untuk menciptakan masyarakat yang tenang, tertib dan penuh dengan keharmonisan, Al qur’an merupakan pegangan yang tidak ada keraguan di dalamnya. Surah Al Hujurat merupakan salah satu surat yang mengatur tentang tata kehidupan manusia, untuk terciptanya sebuah masyarakat yang makmur. Salah satu kandungannya berisi perintah untuk melakukan perdamaian (ishlah) setelah terjadi pertikaian, serta penjelasan tentang beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pertikaian sehingga umat muslim diwajibkan untuk menghindarinya, demi untuk mencegah timbulnya pertikaian tersebut. Seperti Surah al Hujurat ayat 11-13 mengandung nilai pendidikan akhlak yang dapat mencegah terjadinya pertikaian tersebut diantaranya :
1.      Nilai pendidikan untuk menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin, untuk tidak saling merendahkan satu sama lain. Dilarang saling mengolok-olok, mengejek, memanggil dengan gelar yang buruk, berbuat ghibah. Diperintahkan untuk saling menghormati satu sama lain, aplikasi dalam pendidikan islam dapat dilakukan dengan metode keteladanan, nasihat, kisah dan metode peringatan dan ancaman (targhib).
2.      Pendidikan taubat, dalam ayat tersebut kita diperintahkan bertaubat setelah berdosa. Aplikasi pendidikan islam, bertaubat melalui metode pembiasaan dan pemberian nasehat (ceramah).
3.      Nilai pendidikan untuk tidak suudhdhan / berburuk sangka, diperintahkan untuk berbaik sangka / positif thingking. Pendidikan positif thingking dapat dilakukan dengan metode keteladanan, nasehat dan metode pembiasaan.
4.       Pendidikan Ta’aruf yaitu untuk saling mengenal antar manusia lintas budaya, geografis dan tidak diskriminatif. Pendidikan ta’aruf ini dapat dilakukan dengan metode nasehat, kisah dan pembiasaan.
5.       Pendidikan persamaan derajat, pernyataan “ yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa” mengisyaratkan persamaan derajat manusia dihadapan allah swt sama. Pendidikan persamaan derajat dapat dilakukan dengan metode ceramah, nasehat, kisah dan metode keteladanan.
Kelima nilai-nilai pendidikan akhlak diatas merupakan isi kandungan surah al Hujurat ayat 11-13, apabila diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari oleh umat Islam maka mereka akan dapat hidup penuh kedamaian. Dan sebaiknya nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan sejak dini kepada generasi umat Islam.
B.     Q. S. Ar-Ra’d
لَهُمُعَقِّبَاتٌمِّن بَيْنِيَدَيْهِ وَمِنْخَلْفِهِيَحْفَظُونَهُمِنْ أَمْرِاللّهِإِنَّاللّهَ لاَيُغَيِّرُمَا بِقَوْمٍحَتَّىيُغَيِّرُواْمَابِأَنْفُسِهِمْوَإِذَاأَرَادَاللّهُبِقَوْمٍ سُوءًافَلاَمَرَدَّلَهُ وَمَالَهُم مِّن دُونِهِمِن وَالٍ
Ø  Terjemahan
Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Ø  Tafsir Mufrodat
Kosakata
Arti
مُعَقِّبَاتٌ
Para malaikatpengiring/pedamping
يَحْفَظُونَهُ
Mereka menjaganya
يُغَيِّرُ
Dia mengubah
بِقَوْمٍ
(ada) pada suatu kaum
مَا
Apa (kondisi) yang
بِأَنْفُسِهِمْ
(ada) padadiri mereka sendiri

Ø  Analisa Nahwu dan Balaghah
مَا dalam ayat di atas secara bahasa adalah isim mausul yang berarti sesuatu, apa saja.
Secara mufradat tidak ada bermakna nasib. Apalagi kalau kita terjemahkan seperti di atas, sungguh bertentangan dengan kenyataannya. Ada terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya orang tidak berusaha untuk kaya tetapi tiba-tiba dia menjadi kaya, tanpa diduga-duga, dia mendapat warisan berlimpah dan sebaliknya, ada orang yang berusaha siang dan malam dengan kerja keras tetapi Allah tidak menghendakinya kaya. dan lagi pula itu bertentangan dengan rukun iman yang ke-enam, percaya kepada qadha dan qadar datang dari Allah. Lalu apa makna مَا pada ayat di atas ? Ayat al-Qur’an adakalanya menafsirkan ayat lainnya yang kurang jelas, demikian dijelaskan dalam Ulumul Qur’an. Oleh karena itu, mari kita perhatikan ayat yang lain yang mirip dengan ayat ini, yaitu dalam Surat al-Anfal : 53.
Apabila kita sesuaikan dengan maksud ayat 53 Surat al-Anfal terrsebut , مَا pada perkataan maka jelaslah bagi kita bahwa makna  مَا بِقَوْم adalah bermakna nikmat, bukan nasib.
Dengan demikian, maksud ayat ayat 11 Surat ar-Ra’d dan ayat 53 Surat al-Anfal adalah pada adatnya, Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tidak merubah ketaatan dan bersyukur kepada Allah kepada perbuatan maksiat.
Ø  Syarah Ayat/hadits Terkait
Allah swt. menugaskan kepada beberapa malaikat untuk selalu mengikuti manusia secara bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Ada malaikat yang menjaganya di malam hari, dan ada yang di siang hari, menjaga dari berbagai bahaya dan kemudaratan, dan ada pula malaikat yang mencatat semua amal perbuatan manusia, yang baik atau yang buruk. Dua malaikat di sebelah kanan dan di sebelah kiri yang mencatat amal perbuatan manusia. Yang sebelah kanan mencatat segala kebaikannya, dan yang sebelah kiri mencatat amal keburukannya, dan dua malaikat lain lagi yang satu di depan dan yang satu lagi di belakangnya. Maka setiap orang ada malaikatnya empat pada siang hari dan empat pada malam hari yang datangnya secara bergiliran, sebagaimana diterangkan dalam hadis yang sahih:
Ada beberapa malaikat yang menjaga kamu secara bergiliran di malam  hari dan di siang hari. Mereka bertemu (untuk mengadakan serah terima) pada waktu salat subuh dan salat asar, lalu naiklah malaikat-malaikat yang menjaga di malam hari kepada Allah Taala. Dia bertanya sedangkan Ia sudah mengetahui apa yang akan ditanyakannya itu: "Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kamu meninggalkan mereka (di dunia)?" Malaikat menjawab: "Kami datang kepada mereka padahal mereka sedang salat dan kami meninggalkan mereka dan mereka pun sedang salat pula."
(H.R. Bukhari)
Apabila manusia mengetahui bahwa di sampingnya ada malaikat-malaikat yang mencatat semua amal perbuatannya, maka patutlah dia selalu menjaga diri dari perbuatan maksiat karena khawatir akan dilihat oleh malaikat-malaikat itu seperti kekhawatirannya perbuatan itu dilihat oleh orang yang disegani. Dan tentang penelitian malaikat-malaikat terhadap perbuatan-perbuatan manusia dapat diyakinkan kebenarannya setelah ilmu pengetahuan menciptakan alat-alat yang baru yang dapat mencatat semua kejadian-kejadian yang terjadi pada diri manusia sebagai contoh aliran listrik dan pemakaian air minum di tiap-tiap kota dan desa telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat diketahui berapa jumlah yang telah dipergunakan, demikian pula ada alat-alat yang dipasang di kendaraan bermotor yang dapat mencatat kecepatannya dan mengukur berapa jarak yang telah ditempuh. Perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat mengungkapkan bermacam-macam perkara yang gaib adalah memberi keyakinan kepada kita tentang benarnya teori ketentuan agama itu dan menjadi sebab untuk menundukkan orang-orang yang terpengaruh oleh doktrin kebendaan sehingga mereka mengakui adanya benda-benda gaib yang tidak dapat dicapai dengan pancaindra mereka sendiri, oleh karena itu benarlah orang yang mengatakan bahwa kedudukan akal di dalam Islam itu adalah seperti dua anak yang kembar yang tidak akan dipisahkan atau seperti dua orang kawan yang selalu sama pendapat-pendapatnya dan tidak akan berbantah-bantahan.
Malaikat-malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah, dengan izin Allah dan pemeliharaan-Nya yang sempurna. Sebagaimana dalam alam kebendaan ada hubungan erat antara sebab dan musabab sesuai dengan hikmahnya, seperti adanya pelupuk mata melindunginya dari kemasukan benda yang merusaknya, maka demikian pula dalam alam kerohanian Allah telah menugaskan beberapa malaikat untuk menjaga manusia dari berbagai kemudaratan. Perbuatan Tuhan selalu tidak luput dari hikmah dan kemaslahatan. Demikian pula Allah swt. telah menugaskan malaikat-malaikat untuk mencatat amal perbuatan manusia. Kita tidak tahu bagaimana cara mencatatnya, kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah sendiri cukup untuk mengetahuinya. Mengapa Dia masih menugaskan malaikat untuk mencatatnya. Mungkin di dalamnya terkandung hikmah ialah supaya manusia lebih tunduk dan akan menerima pahala atau azab yang akan diterimanya nanti di akhirat, karena telah pula disaksikan dan dicatat oleh para malaikat itu, menjaga manusia atas perintah dan izin Allah, tetapi bilamana ada kepastian Allah yang tidak dapat ditolaknya, mereka membiarkan kepastian Allah itu menimpa pula kepada
manusia yang dijaganya.[3]
Ø  Pokok Kandungan Ayat dan Keterkaitan dalam Pendidikan
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya ”Membumikan al-Qur’an”, perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dalam perspektif al-Qur’an harus memenuhi dua syarat pokok, yaitu:
a.       Adanya nilai atau ide, dan.
b.      Adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Dalam perspektif Islam, syarat pertama tentu telah diambil alih sendiri oleh Allah SWT melalui petunjuk-petunjuk al-Qur’an serta penjelasan dari Rasulullah SAW, walaupun masih bersifat umum dan memerlukan penjelasan yang lebih rinci dari manusia.
Mengenai dua syarat pokok tersebut, juga tergambar dalam ayat di atas. Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan:
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan kedua perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih kasih atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok dengan masyarakat/kelompok lain .
Ma bi anfusihim yang diterjemahkan dengan "apa yang terdapat dalam diri mereka", terdiri dari dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan pendorong guna melakukan sesuatu. Kemudian ayat di atas berbicara tentang manusia dalam keutuhannya, dan dalam kedudukannya sebagai kelompok/masyarakat, bukan sebagai wujud individual. Dipahami demikian, karena pengganti nama pada kata anfusihim (diri-diri mereka) tertuju kepada qawm (kelompok/masyarakat). Ini berarti bahwa seseorang, betapapun hebatnya, tidak dapat melakukan perubahan, kecuali setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan kepada sekian banyak orang, yang pada gilirannya menghasilkan gelombang, atau paling sedikit riak-riak perubahan dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan kemasyarakatan harus bersifat dinamis dan harus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tentu harus tetap berlandaskan kepada ajaran Islam. Jadi perubahan itu "bukanlah bebas tanpa batas, tetapi bebas terkendali".
C.     Q. S. Al-Anfal
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


Ø  Terjemahan
Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Ø  Tafsir Mufradat dan Nahwu
Kata ni’mah merupakan masdar atau kata jadian dari kata  na’ima,yan’amu-ni’mah, yang memiliki akar makna senang. Kata an’ama berarti memberi kesenangan dan kebahagiaan atau dengan kata lain memberi anugrah. Kata na’mah berarti kemewahan. Binatang ternak dalam bahasa Arab disebut na’amun dan bentuk jamaknya adalah an’am, karena bagi masyarakat Arab binatang ternak itu adalah nikmat materi yang paling besar. Namun terkadang kata na’amun juga berarti binatang buruan, seperti yang disebutkan dalam al-qur’an (al-maidah/5:1). Dari kata itu juag diambil kata ni’ma yang berarti sebaik-baik, dan kata na’am berarti jawaban “ya”.
Ø  Sabab Nuzul-Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu menerangkan tingkah laku orang-orang kafir Quraisy ketika keluar dari Mekkah ke Badar dengan cara yang sombong dan congkak dan setelah Allah menerangkan pula tipuan setan kepada pengikutnya, maka pada ayat ini Allah menerangkan hal ihwal orang-orang kafir Quraisy ketika menghadapi sakaratulmaut dan azab yang mereka terima saat itu.[4]
Ø  Hadits Terkait
Menurut At Thobariy ayat ini berkaitan dengan azab Allah yang ditimpakan kepada kaum kafir quraisy diperang badar sebab dosa-dosa yang mereka lakukan.
Imam Al-Baghowiy berkata, sesungguhnya makna dari ayat di atas adalah: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah kenikmatan atas suatu kaum sehingga mereka merubah sesuatu yang ada pada mereka dengan kekufuran dan tidak syukur. Ketika mereka melakukan hal itu maka Allah pun akan merubah kenikmatan yang ada pada mereka”.
Ø  Kandungan pokok dan keterkaitannya dengan pendidikan
Ayat ini mengisyaratkan bahwa nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada umat dan individu sejak pertama dan untuk selamanya, tergantung pada akhlak, sifat dan berbagai perbuatan yang dituntut oleh nikmat itu. Selama perkara-perkara ini tetap ada pada mereka, maka nikmat-nikmat itu pun tetap ada pada mereka. Allah tidak akan mencabutnya dari mereka, selama mereka tidak melakukan kedzaliman / dosa sedikitpun. Tetapi, apabila mereka mengubah sendiri akidah, akhlak, dan perbuatan baik yang seharusnya mereka lakukan, maka Allah pasti mengubah keadaan mereka dan mencabut nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka, sehingga orang yang kaya akan menjadi fakir, orang mulia menjadi hina, dan orang kuat menjadi lemah.

BAB III
PENUTUP
a.       Kesimpulan
Manusia terlahir sebagai mahluk sosial, yang saling ketergantungan dengan manusia yang lain, manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia di pandangan Allah semua sama, hanya tingkat ketaqwaannya lah yang membedakannya. Maka dari itu berbaik-baiklah dalam bermasyarakat.
b.      Saran
Semoga ini semua dapat bermanfaat untuk pendidikan ke depan, amin.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Al-qur’an dan Tafsirnya, 2009, (lembaga percetakan departemen agama: Bogor).

Arif Fakhrudin, M. Ag dan Siti Irhamah, Lc. AL-HIDAYAH Al-qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, (Kalim:Ciputat).


[1] Arif Fakhrudin, M. Ag dan Siti Irhamah, Lc. AL-HIDAYAH Al-qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, (Kalim:Ciputat), hlm. 518.
[2] Ibid, hlm.518
[3]http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_AsbabunNuzul.asp?pageno=1&SuratKe=13#11
[4] Departemen Agama, Al-qur’an dan Tafsirnya, (lembaga percetakan departemen agama: Bogor. Hlm. 13-16.